Senin Harga Naik!

Pagi - pagi dapat tulisan menarik dari mas Jaya, salah satu guru saya dalam belajar bisnis:

Sebenarnya siapa yang memicu kenaikan harga properti?

Pertama, penjual yang memainkan emosional calon pembeli, dengan menciptakan keterdesakan. Seolah jika tidak beli sekarang, maka akan merugi, karena harga akan naik dan stok akan habis.

Kedua, ketakutan para investor tidak mendapatkan keuntungan investasi, jika membeli kemahalan.

Ketiga, keterbatasan lahan.

Pertanyaan: Berapa prosentase dari mereka yang membeli rumah dari developernya ‘Mbak Feni’, yang kemudian kosong, tak berpenghuni? Namanya juga rumah investasi.

“Suka-suka gue donk Mas, kan duit gue sendiri.”.

Betul sekali, tapi ingat lho, duitmu itu titipan Allah, yang akan ‘diaudit’ penggunaannya di akhirat nanti.

Pemicu permintaan atas Properti investasi, secara tak langsung telah memberikan alasan bagi para developer kapitalis (baca: rakus) untuk membabat hutan (serapan), merusak ekosistem laut dengan reklamasi, nelayan kehilangan mata pencaharian, menggusur kaum miskin ke ‘pinggiran’. Artinya, setiap kali kita berinvestasi terhadap properti yang tak produktif, kita punya andil atas kerusakan bumi dan isinya.

Secara tak sadar, kiamat yang kita takutkan adalah ulah kita sendiri. Apa pemicunya? Pola pikir keserakahan, kurangnya kepedulian terhadap ‘tetangga’ dan lingkungan. Seolah jika kita punya duit, kita boleh bertindak suka-suka.

Sisi Lain yang kontras

“Kebutuhan perumahan yang belum terpenuhi (backlog) di Indonesia telah mencapai 13,5 juta unit. Sebaran backlog tersebut ialah Pulau Sumatera 2.963, Jawa 7.794, Bali dan Kepulauan Nusa Tenggara 692, Kalimantan 805, Sulawesi 950, Kepulauan Maluku 139, dan Papua 183 unit.” (dalam ribuan) Sumber: Antara

Sementara rakyat masih banyak yang miskin, jangankan beli ‘rumah mewah’ kedua, gubuk miskin satu pun tak terbeli. Orang miskin tergusur karena orang kaya akan berinvestasi. Bagaimana si kaya akan peduli kemiskinan, ketemu muka mereka saja semakin jarang, karena ‘tembok pemisah’ yang tinggi. Celakanya lagi, setelah itu rumah mewah hanya ditinggali pembantu atau istri simpanan.

Penciptaan ‘demand semu’ atas properti investasi inilah yang memicu kenaikan harga properti. Harga tanah di perumahan saya saat saya beli (2012) sekitar 2,5 juta permeter. Saat ini (2016) diatas 7 juta permeter. Kenapa? Ya hukum supply-demand yang diciptakan.

cukup atau serakah?

Punya rumah besar, sah-sah saja, untuk menyambut tamu. Punya mobil nyaman dan aman, kenapa tidak, agar ibadah juga nyaman. Tapi adakah batasan ‘Kata Cukup’ kita atas kebutuhan dunia? “Never Enough..”, kata Jordan Belfort, Wolf of Wallstreet. Hingga tanah menyumbat mulut kita..

Andaikan kita dapat menentukan kata atau angka cukup kita, meraihnya dengan proses yang ‘benar’, kemudian membantu kawan kita mendapatkan kata cukupnya… in syaa Allah damai dunia ini. Tak ada lagi ketakutan, “Senin harga naik…!”.

Salam,

Jaya Setiabudi

(Founder Young Entrepreneur Academy dan yukbisnis.com)

Berlangganan via Email

atau berlangganan via RSS

Tulisan Terbaru